Minggu, 01 Februari 2009

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, Suatu Kebutuhan?

Saya bertemu dengannya beberapa kali diujung masa hidupnya beberapa tahun yang lalu. Usianya sekitar pertengahan tiga puluhan. Saya tak tahu siapa dia, siapa namanya dan darimana asalnya.Saya juga tak tahu dimana tempat tinggalnya. Yang saya tahu, di bulan puasa di tahun 2001 itu dia bekerja dengan sedikit pamrih, membersihkan setiap anak tangga penyeberangan di depan Pasar Festival, Kuningan-Jakarta. Saya bertemu dengannya beberapa kali diujung masa hidupnya beberapa tahun yang lalu. Usianya sekitar pertengahan tiga puluhan. Saya tak tahu siapa dia, siapa namanya dan darimana asalnya.Saya juga tak tahu dimana tempat tinggalnya. Yang saya tahu, di bulan puasa di tahun 2001 itu dia bekerja dengan sedikit pamrih, membersihkan setiap anak tangga penyeberangan di depan Pasar Festival, Kuningan-Jakarta.

Dengan bermodalkan seikat sapu lidi kecil yang amat butut dia menjual jasanya, tanpa perjanjian, tanpa kejelasan status, tanpa peduli, dan barangkali cuma peduli pada sejumput harap dan belas kasih pengguna jembatan penyeberangan itu. Sekali lagi saya tak tahu siapa namanya, tapi yang juga saya tahu adalah kedua kakinya telah diamputasi sampai setinggi lutut, sehingga ia berjalan dengan kedua lutut cacat itu.

Secara iseng saya menghitung anak tangga itu.Jumlahnya ada 44 anak tangga. Dari anak tangga terbawah sampai anak tangga yang teratas itu, ia menyapu setiap anak tangga dengan susah payah dan tertatih-tatih karena handicap nya itu. Pada ujung anak tangga yang terakhir itu ia letakkan sebuah kaleng berkarat bekas margarine yang diharapkannya sebagai tempat menaruh recehan. Sebagian orang memberi recehan itu atas imbalan upayanya membuat nyaman pengguna jembatan penyeberangan. Barangkali sebagian orang lain memberikannya karena iba atas penampilan fisiknya.

Saya bertemu dengannya sebanyak tiga kali dalam tiga hari berturut-turut dalam bulan puasa yang terik itu. Pada hari keempat saya melintas di jembatan penyeberangan itu saya tidak melihatnya lagi. Antara iseng dan penasaran saya menanyakannya pada penjual rokok yang mangkal didekat jembatan penyeberangan itu. Jawabannya membuat saya iba. Sore sebelumnya, dalam hujan yang lebat, si penyapu tangga itu terpeleset dari anak tangga tertinggi, berguling-guling dan mendapat luka parah pada bagian kepalanya.Tanpa sempat dibawa ke Rumah Sakit yang ada dekat lokasi itu, beberapa orang yang merubungnya membopongnya ke gubuknya tak jauh dari situ.

Saya tak ingin berandai-andai, tapi peluang untk sembuh, betapapun kecilnya, tentulah ada bila seorang penderita,bagaimanapun parahnya, dapat bersentuhan dengan pelayanan kesehatan. Sesungguhnya tidak ada warganegara kelas dua di republik ini, akan tetapi ketiadaan biaya pengobatan menyebabkan ia dipasrahkan untuk untuk menongsong ajal di gubuknya. Sungguh, saya tidak bermaksud menjual iklan dengan membeli emosi saudara. Saya juga tidak ada niatan sama sekali untuk menjual kepapaan. Barangkali saya terlalu mendramatisir, tapi saya amat percaya bahwa cerita seperti itu, dengan dimensi dan derajat serta lakon yang berbeda terjadi setiap saat di sekitar kita. Intinya, sistim pembiayaan pelayanan kesehatan kita yang masih dilakukan secara langsung dan tunai, seringkali menghambat akses masyarakat teradap pelayanan kesehatan yang mahal.

Keadaan ini secara tidak sadar telah menempatkan pelayanan kesehatan pada suatu tingkat eksklusivitas tertentu. Hal ini sering dinyatakan tidak "fair " karena pelayanan kesehatan seharusnya merupakan hak dasar yang dimiliki setiap individu, bukan menempatkan mereka yang mampu saja yang dapat menjangkau pelayanan kesehatan. Karakteristik kebutuhan pelayanan kesehatan yang "uncertainty" (ketidak pastian) seharusnya bisa menjadi pasti dengan perlindungan sistim jaminan pemeliharaan kesehatan.

Sistim pembiayaan tunai individu yang tidak adil seperti itu tidak dapat dipertahankan karena risiko pembiayaan pelayanan kesehatan pada tingkat tertentu tidak mungkin dapat diatasi oleh rata-rata masyarakat. Itulah sebabnya penggalangan solidaritas sosial kelompok masyarakat melalui sistim penjaminan pemeliharaan kesehatan menjadi kebutuhan, ketika biaya pelayanan kesehatan sudah sampai pada tingkat yang membahayakan akses rat-rata masyarakat.

Dengan cara penjaminan, setiap individu akan membayar biaya pelayanan kesehatannya dalam bentuk premi yang dibayar setiap bulannya. Besaran premi yang diperhitungkan secara cermat sebagai upaya memindahkan resiko sakit kepada bentuk biaya tentu relatif kecil bila dibandingkan biaya pelayanan kesehatan secara insidentil. Juga dalam prinsip asuransi ini merubah ketidak pastian kepada sesuatu yang lebih pasti.

Bentuk kegotong royongan seperti itu, akan membuat akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan menjadi lebih rasional. Kebutuhan pelayanan kesehatan dasar dengan demikian tidak lagi bergantung pada berapa banyak uang yang ada di saku.

Mungkinkah hal itu direalisasikan? Upaya-upaya dan langkah yang sedang dilakukan hari-hari ini pada tingkat pengambilan kebijakan, memberikan harapan akan terwujudnya hal itu.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sangat menyentuh...